Foto Resmi Pimpinan
Kartu Kredit Pemerintah atau KKP merupakan alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang diterbitkan oleh bank, seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk memberikan kemudahan kepada satuan kerja Pemerintah dalam melakukan pembayaran atas transaksi belanja. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan, satuan kerja diatur memiliki 60% dari besaran uang persediaan (UP) sedangkan sisanya menggunakan Kartu Kredit Indonesia sebesar 40%.
Namun, meski sudah dikenalkan sejak tahun 2018, penggunaan KKP belum maksimal, termasuk di satuan kerja pengadilan tinggi dan pengadilan negeri. Menyikapi hal tersebut, DIrektorat Jenderal Badan Peradilan Umum secara daring (online) melakukan sosialisasi penggunaan KKP, dengan mengundang narasumber dari Bank Rakyat Indonesia. Kegiatan ini dilakukan pada hari Kamis, 29 Februari 2023.
Pada kegiatan ini, pemateri yaitu ...... menyampaikan keuntungan penggunaan KKP, seperti bisa digunakan tanpa perlu membawa uang tunai dalam jumlah banyak saat perjalanan dinas, hingga fasilitas prioritas pada bandar udara. KKP juga bebas biaya-biaya, seperti biaya administrasi, denda keterlambatan, iuran tahunan (annual fee) dan denda kelebihan (overlimit fee).
KKP juga dapat digunakan untuk pembelian dengan men-scan kode Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) untuk memfasilitasi pembayaran non-tunai secara cepat. Dengan KKP, pengelola keuangan di satuan kerja juga dapat mudah melakukan pemantauan atas transaksi yang telah dilakukan, sehingga mendukung akuntabilitas anggaran.
Bagi pengadilan tinggi dan pengadilan negeri, KKP tidak hanya untuk biaya perjalanan dinas, tapi dapat digunakan untuk membayar biaya operasional, seperti biaya sewa kendaraan, biaya listrik dan internet, serta juga untuk pembelian alat tulis kantor.
KEMANDIRIAN
Kemandirian Kekuasaan Kehakiman (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945).
Kemandirian Institusional: Badan Peradilan adalah lembaga mandiri dan harus bebas dari intervensi oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Kemandirian Fungsional: Setiap hakim wajib menjaga kemandirian dalam menjalankan tugas dan fungsinya (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Artinya, seorang hakim dalam memutus perkara harus didasarkan pada fakta dan dasar Hukum yang diketahuinya, serta bebas dari pengaruh, tekanan, atau ancaman, baik langsung ataupun tak langsung, dari manapun dan dengan alasan apapun juga.
INTEGRITAS DAN KEJUJURAN
Integritas dan kejujuran (Pasal 24A ayat (2) UUD 1945; Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman) Perilaku Hakim harus dapat menjadi teladan bagi Masyarakatnya. Perilaku Hakim yang Jujur dan Adil dalam menjalankan tugasnya, akan menumbuhkan kepercayaan Masyarakat akan Kredibilitas Putusan yang kemudian dibuatnya. Integritas dan Kejujuran harus menjiwai pelaksanaan Tugas Aparatur Peradilan.
Kejujuran atau jujur artinya apa-apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakan sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Sikap jujur itu perlu di pelajari oleh setiap orang, karena kejujuran mewujudkan keadilan, sedang keadilan menuntut kemuliaan abadi, jujur memberikan keberanian dan ketentraman hati
AKUNTABILITAS
Akuntabilitas (Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) Hakim harus mampu melaksanakan tugasnya menjalankan kekuasaan kehakiman dengan profesional dan penuh Tanggung Jawab. Hal ini antara lain diwujudkan dengan memperlakukan pihak-pihak yang berPerkara secara profesional, membuat putusan yang didasari dengan dasar alasan yang memadai, serta usaha untuk selalu mengikuti perkembangan masalah-masalah Hukum aktual. Begitu pula halnya dengan aparatur Peradilan, tugas-tugas yang diemban juga harus dilaksanakan dengan penuh Tanggung Jawab dan Profesional.
RESPONSIBLITAS
Responsibilitas (Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) Badan Peradilan harus tanggap atas kebutuhan Pencari Keadilan, serta berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat mencapai Peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Selain itu, Hakim juga harus menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang hidup dalam Masyarakat.
KETERBUKAAN
Keterbukaan (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Pasal 13 dan Pasal 52 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) Salah satu upaya Badan Peradilan untuk menjamin adanya perlakuan sama di hadapan Hukum, perlindungan Hukum, serta kepastian Hukum yang adil, adalah dengan memberikan akses kepada Masyarakat untuk memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan penanganan suatu Perkara dan kejelasan mengenai Hukum yang berlaku dan penerapannya di Indonesia.
KETIDAKBERPIHAKAN
Ketidakberpihakan (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) Ketidakberpihakan merupakan syarat utama terselenggaranya proses Peradilan yang Jujur dan Adil, serta dihasilkannya suatu putusan yang mempertimbangkan Pendapat/ Kepentingan para pihak terkait. Untuk itu, Aparatur Peradilam harus tidak berpihak dalam memperlakukan pihak-pihak yang berPerkara.
PERLAKUAN YANG SAMA DI HADAPAN HUKUM
Perlakuan yang sama di hadapan Hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 52 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) Setiap Warga Negara, khususnya Pencari Keadilan, berhak mendapat perlakuan yang sama dari Badan Peradilan untuk mendapat Pengakuan, Jaminan, Perlindungan, dan Kepastian Hukum yang Adil serta perlakuan yang sama di hadapan Hukum.