Aspek Hukum Pencemaran Nama Baik melalui "Facebook"
Oleh : Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H. (Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA)
"Jangan korbankan ragamu (penjara) karena kesalahan 2 jempolmu"
Pengantar
Perkembangan media sosial semakin cepat dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Media sosial menggabungkan elemen informasi dan komunikasi melalui beberapa fitur untuk kebutuhan penggunanya. Sejumlah informasi melalui unggahan status, membagi tautan berita, komunikasi melalui chat, komunikasi audio/visual dan lainnya merupakan fitur-fitur unggulan yang dimiliki media sosial.
Pengguna facebook Indonesia menempati peringkat 4 terbesar setelah USA, Brazil, dan India. Ada sekitar 65 juta pengguna facebook aktif dan sebanyak 33 juta pengguna aktif per harinya namun “data April 2017 menunjukkan penambahan signifikan jumlah pengguna facebook aktif di Indonesia yakni sebanyak 111 juta pengguna (www.liputan6.com)”.
Pengguna facebook yang banyak, dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk melakukan berbagai tindak pidana dalam bentuk penipuan, pemalsuan, tayangan bermuatan pornografi, termasuk perbuatan sengaja menyebabkan penghinaan/pencemaran nama baik. Pencemaran nama baik melalui facebook memiliki karakteristik khusus yang dapat diketahui melalui putusan-putusan hakim.
Pada direktori putusan Mahkamah Agung dengan kata pencarian "pencemaran nama baik facebook" setidaknya pada 3 halaman ditemukan 19 Putusan (belum semua berkekuatan hukum tetap) dengan terdakwa yang didakwa melanggar ketentuan penghinaan/pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE 2008)/Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE 2016).
Melalui sejumlah putusan tersebut diketahui terdakwa yang diputus bebas sebanyak 2 orang dan terdakwa yang dinyatakan bersalah sebanyak 17 orang. Adapun mengenai lamanya hukuman yang dijatuhkan/strafmacht yakni 3 orang dihukum pidana penjara dengan masa percobaan dan 13 orang dihukum penjara antara 2 (dua) sampai 8 (delapan) bulan.
Pencemaran Nama Baik Dalam UUITE
Kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik (Penjelasan Umum UUITE 2016).
Rasa aman bagi penggunan teknologi dan informasi dapat berupa perlindungan hukum dari segala gangguan tindak pidana, baik secara verbal, visual maupun yang menyebabkan terjadi kontak fisik. Namun luasnya wilayah privat pengguna jejaring sosial dengan standar pencegahan yang minim menjadi fakta bahwa tidak mudah menghalau terjadinya berbagai tindak pidana.
UUITE 2008 telah menetapkan 8 pasal ketentuan pidana namun UUITE 2016 telah melakukan perubahan Pasal 45 dan penambahan Pasal 45 A dan 45 B yang kesemuanya berfungsi menjerat pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan Teknologi Informasi (Cyber Crime). Adapun satu diantaranya adalah Pasal 45 ayat (3) UUITE 2016 :
"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)".
Perubahan elemen dasar ketentuan Pasal 45 ayat (1) UUITE 2008 menjadi Pasal 45 ayat (3) UUITE 2016 terkait penghinaan/pencemaran nama baik adalah lamanya pemidanaan yang berkurang dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi 4 (empat) tahun sedangkan denda dari semula 1 miliar menjadi 750 juta. Adapun dampak berkurangnya ancaman pidana tersebut maka tersangka/terdakwa tidak dapat ditahan oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim.
Selain itu, tedapat perubahan penjelasan ketentuan Pasal 27 UUITE 2008 yang sebelumnya tertulis “jelas” kemudian di dalam penjelasan Pasal 27 UUITE 2016 menjadi “Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”. Hal ini semakin memperjelas 1).makna pencemaran nama baik dan/atau fitnah sebagaimana diatur dalam KUHP serta 2). merubah sifat delik.
Penghinaan dalam KUHP diatur pada Bab XVI yang di dalamnya terdapat rumpun pencemaran nama baik. Secara umum penghinaan merupakan keadaan seseorang yang dituduh atas sesuatu hal yang benar faktanya namun bersifat memalukan karena diketahui oleh umum sebagaimana dimaksud Pasal 310 ayat (1) KUHP dan kebalikannya apabila yang dituduhkan itu tidak benar maka dia dianggap melakukan fitnah/pencemaran nama baik sebagaimana maksud Pasal 311 ayat (1) KUHP. Namun jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan” (R.Soesilo).
Dalam UUITE 2008 penghinaan/pencemaran nama baik merupakan delik biasa sehingga dapat diproses secara hukum sekalipun tidak adanya pengaduan dari korban namun dengan mengacu pada KUHP sebagaimana maksud UUITE 2016 maka delik tersebut berubah menjadi delik aduan (klacht delic) yang mengharuskan korban membuat pengaduan kepada pihak yang berwajib. Muatan norma penjelasan Pasal 27 UUITE 2016 secara tidak langsung mengadopsi pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 Jo Putusan MK Nomor 2/PUU-VII/2009.
Dalam pertimbangan Putusan MK 50/PUU-VI/2008 disebutkan bahwa keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.
Kalimat Kutipan Bukan Merupakan Penghinaan /Pencemaran Nama Baik
Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 955 K/Pid.Sus/2015 menolak permohonan kasasi penuntut umum sehingga berlaku putusan pengadilan tingkat pertama yang membebaskan terdakwa dari semua dakwaan. Adapun terdakwa dalam perkara ini merupakan anggota DPRD yang mengunggah status di facebooknya bahwa terjadi penyimpangan dana… di kota.... sesuai laporan hasil pemeriksaan BPK. Kedudukan terdakwa menunjukkan pengguna facebook tidak terbatas profesi tertentu karena facebook maupun media sosial terbuka terhadap semua kalangan.
Pertimbangan hukum majelis kasasi bahwa kata-kata yang diucapkan terdakwa tersebut bukan merupakan kata-kata karangan terdakwa sendiri, melainkan kutipan dari statement Resume Lembaga Negara (BPK) sesuai hasil laporan hasil pemeriksaan BPK, kata-kata tersebut tidak ditujukan kepada pihak tertentu, serta tidak dengan makna menyiarkan kabar bohong/fitnah. Pertimbangkan putusan ini mengukuhkan kebebasan pengguna media sosial sepanjang ditulis berdasarkan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum namun tidak ditujukan terhadap pihak tertentu. Kasus ini bisa berbeda sudut pandangnya apabila terdakwa menyebutkan nama/pejabat tertentu yang belum diproses hukum oleh penyidik.
Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Bukan Kritik Sosial
Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 364 K/Pid.Sus/2015 menolak permohonan kasasi terdakwa. Adapun terdakwa dinyatakan bersalah melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui informasi teknologi oleh majelis hakim tingkat pertama. Melalui akun facebooknya, terdakwa mengunggah status difacebook dan membagikan informasi tersebut digrup facebook sehingga penyebaran informasi semakin cepat dan meluas.
Dalam pertimbangan hukum, majelis kasasi menyatakan perbuatan terdakwa yang membuat tulisan di situs jejaring sosial facebook tidak dapat lagi dinilai sebagai bentuk kontrol sosial atau kritik membangun terhadap lingkungan maupun aparat penyelenggara pemerintahan. Sebab tulisan terdakwa sudah mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap saksi pelapor. Pertimbangan ini, memastikan batasan-batasan kebebasan seorang pengguna media sosial terhadap hak-hak objek yang menjadi isi muatannya sehingga perlu dipilah muatannya maupun niat jahat/mens rea.
Adapula putusan pengadilan yang membenarkan kritik sosial untuk kepentingan umum dengan kriteria sebagai berikut : 1).kapasitas terdakwa berkaitan dengan objek yang disebutkan dalam unggahannya, 2). terdakwa dan korban tidak saling mengenal sehingga tidak terdapat konflik pribadi, dan 3). perbuatan terdakwa dilakukan semata-mata adalah sebagai bentuk protes. Selanjutnya dengan kriteria tersebut maka terdakwa dibebaskan dari dakwaan UUITE, namun hal tersebut belum dapat dipedomani karena putusan dimaksud belum berkekuatan hukum tetap.
Penyebutan Nama Yang Tidak Sempurna
Putusan Nomor 2172 K/Pid.Sus/2015 menolak permohonan kasasi penuntut umum dan kasasi terdakwa dengan pertimbangan bahwa meskipun terdakwa tidak menyebutkan nama lengkap objek yang dicemarkan nama baik namun dapat dipastikan kata-kata itu ditujukan kepada saksi korban. Dalam kasus ini terpidana berupaya berkelit terhadap dakwaan penuntut umum karena tidak menyebutkan nama korban secara lengkap namun bukti-bukti lainnya mampu menunjukkan hubungan antara maksud kata-kata tersebut dengan keadaan/kedudukan korban.
Melalui putusan ini maka pengguna facebook mesti menyadari sepenuhnya bahwa penegak hukum dapat melakukan analisis terhadap konten kalimat di dalam unggahan facebook. Konten kalimat dapat juga dimintai pendapat ahli bahasa dan ahli pidana untuk menemukan maksud yang tersembunyi.
Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Merupakan Kerugian Immaterial
Peristiwa pidana dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 2290 K/PID.SUS/2015 terjadi pada saat terpidana mengunggah status yang bermuatan penghinaan di facebook melalui handphone secara berlanjut pada waktu yang tidak terlalu lama dari unggahan pertama. Hal ini menunjukkan bahwa facebook menjadi media yang mudah untuk dimanfaatkan oleh penggunannya karena hanya dengan kedua jempol pada saat mengetiknya.
Majelis hakim menolak alasan kasasi terdakwa terkait lamanya pemidanaan yang diterima terdakwa dari putusan judex facti. Adapun salah satu pertimbangan majelis hakim adalah kerugian yang bersifat immaterial yang diderita korban tidak dapat dinilai dengan uang, karena kedudukan korban yang saat itu adalah sebagai Bupati Pasaman Barat. Salah satu akibat yang dirasakan korban adalah hilangnya kepercayaan orang/masyarakat yang membaca tulisan pada akun Facebook Terdakwa.
Membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan menjadi tanggungjawab berat kepala daerah dan umumnya membutuhkan waktu namun kepercayaan tersebut dapat hilang dengan cepat karena penghinaan/pencemaran nama baik melalui facebook. Sifat hukum immaterial ini sejalan dengan kaidah perbuatan melawan hukum dalam perdata yang mengatur bahwa cakupan kerugian immaterial hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja seperti perkara Kematian, luka berat dan penghinaan (Putusan perkara Peninjauan Kembali No. 650/PK/Pdt/1994).
SIMPULAN
Penghinaan/Pencemaran nama baik melalui facebook mestinya tidak terjadi kalau pengguna bijak dalam mengunggah status sehingga memberikan rasa aman bagi semua pihak. Aspek hukum penghinaan/pencemaran nama baik melalui facebook memiliki karakter yang mudah dilakukan, mudah tersebar dan diketahui publik, dapat dilakukan oleh semua pengguna, dampak langsungnya terbentuk opini publik dan lain sebagainya. Selain itu, melalui sejumlah putusan diketahui bahwa kalimat kutipan bukan merupakan penghinaan/pencemaran Nama Baik, penghinaan/pencemaran nama baik bukan Kritik Sosial, penyebutan nama yang tidak sempurna dengan melihat mensrea, penghinaan/pencemaran nama baik merupakan kerugian immaterial.